17 May 2013

BULAN MARIA : Rosario, Senjata Ampuh Melawan Setan



"Salam Maria" dibawa dari surga oleh Malaikat Agung St Gabriel, utusan Tritunggal Mahakudus

Teks berikut dari Pater Gabriel Amorth, kepala eksorsis Vatican, dikutip dari "Gema Maria, Ratu Damai" edisi Maret-April 2003.

Surat Apostolik Paus Yohanes Paulus II, "Rosarium Virginis Mariae" (diterbitkan 16 Oktober 2002) mendorong segenap umat Kristiani untuk kembali ke doa yang dengan sungguh dianjurkan baik oleh para paus terakhir maupun penampakan-penampakan Maria yang terjadi belakangan ini. Paus Paulus VI menyebut rosario sebagai suatu ringkasan Injil. Guna membuatnya lebih lengkap, Paus Yohanes Paulus II menambahkan "misteri terang" yang meliputi kehidupan Yesus di depan publik. Padre Pio menyebut untaian manik-manik rosario sebagai senjata yang luar bisa ampuh melawan setan.

Suatu hari seorang rekan saya mendengar iblis mengatakan dalam suatu eksorsisme: "Tiap Salam Maria adalah bagai suatu hantaman di kepalaku. Andai umat Kristen tahu betapa ampuhnya rosario, itu akan menjadi akhir dari riwayatku." Rahasia yang menjadikan doa ini begitu efektif adalah bahwa rosario adalah sekaligus doa dan meditasi. Rosario disampaikan kepada Bapa, kepada Santa Perawan, dan kepada Tritunggal Mahakudus, dan merupakan suatu meditasi yang berpusat pada Kristus.

Sekarang, lebih dari sebelumnya, dunia membutuhkan doa dan meditasi. Dunia membutuhkan doa sebab orang telah melupakan Allah, dan tanpa Allah dunia telah menempatkan dirinya di tepi sebuah jurang. Inilah sebabnya mengapa dalam pesan-pesannya, Bunda Maria begitu mendesak kita untuk berdoa. Tanpa pertolongan Allah, setan menang. Dunia juga membutuhkan meditasi sebab jika kebenaran-kebenaran agung Kristen dilupakan, jiwa menjadi kosong. Kekosongan ini diambil alih oleh musuh, dan ia mengisinya dengan dustanya. Dan sekarang kita melihat hasilnya dengan berkembangluasnya kepercayaan akan takhayul dan hal-hal gaib.

Bahaya paling nyata terhadap masyarakat kita sekarang adalah runtuhnya keluarga. Ritme dunia sekarang ini telah memecah-belah keutuhan keluarga. Sedikit waktu dihabiskan bersama, dan bahkan ketika keluarga bersama, para anggotanya tidak saling berbicara sebab televisilah yang berbicara. Di manakah gerangan keluarga-keluarga yang mendaraskan rosario bersama pada sore hari? Paus Pius XII mendesak di jamannya: "Jika kalian berdoa rosario bersama, kalian akan mengalami damai dalam keluarga kalian; kalian akan akrab bersama." "Keluarga yang berdoa bersama, bersatu teguh," demikian kata Pater Peyton, rasul Rosario keluarga yang tak kenal lelah. "Setan menghendaki perang," demikian kata Bunda Maria suatu hari di Medjugorje. Baik, rosario adalah senjata yang dapat menjamin damai dunia, sebab rosario adalah suatu doa dan suatu bentuk meditasi yang dapat mengubah hati orang dan mengalahkan musuh.

DILINDUNGI ROSARIO

Peristiwa Perang Dunia II yang membangkitkan ilham berikut ini, ditulis oleh Sr. Mary Sheila O'Neil dan dimuat dalam edisi Oktober-Desember 1979 Garabandal Magazine (P.O. Box 606 Lindenhurst, New York 11757 USA), juga menceritakan kuasa rosario:

Suatu hari yang sibuk di bulan Maret. Pada tahun 1950an sebagai seorang kepala guru, aku harus memastikan bahwa setiap hari ada cukup waktu untuk dua peran yang berbeda. Pada tanggal empat Maret, suatu insiden antara seorang guru dan orangtua membuatku mangkir dari kelas nyaris selama satu jam pagi itu, sehingga sepanjang sisa hari, aku berupaya keras untuk mengejar ketinggalan waktu di kelas. Begitulah, ketukan di pintu pada pukul 2:00 siang itu tidak aku harapkan.

Dengan lega, aku dapati bahwa ternyata hanya seorang salesman yang membutuhkan tanda-tanganku dan bahkan menawarkan penanya. Sementara ia melakukannya, rosarionya menyangkut ke klip pena dan ikut keluar. Aku menandatangani seraya mengatakan acuh tak acuh, "Jadi, Anda adalah seorang Katolik." "Oh bukan," jawabnya, "tetapi banyak dari antara kami yang berhutang nyawa kepada Bunda Maria, dan aku berjanji kepadanya bahwa aku aku akan selalu membawa rosarioku dan mendaraskannya setiap hari."

Duapuluh menit kemudian, aku masih di pintu mendengarkan, dengan takjub, kisah salah satu dari pengalaman-pengalaman mengagumkan sekelompok pilot bersama Bunda Maria. Tamuku tampak ragu memulai, sebab ia memperhatikan sambutan dinginku saat membuka pintu. Tetapi, antusias mendengarkan kisahnya, aku meyakinkannya bahwa kelas sedang mengerjakan latihan, dan memintanya untuk meneruskan ceritanya. Ia pun melanjutkan:  

Waktu itu adalah bulan Mei 1940, dan kami telah bergabung dengan Angkatan Udara akhir September. Di Halifax, kepada kami diberikan suatu pelatihan intensif, sebab mereka membutuhkan kami untuk tugas luar negeri, dan bagi kami para pemuda, keseluruhan program tersebut sungguh menarik.

Kami dikelompokkan dalam skwadron- skwadron, masing-masing terdiri dari enam hingga sepuluh pesawat, dan masing-masing dilatih maneuver sebagai satu kesatuan. Karenanya ada sekitar tigapuluh hingga limapuluh orang dalam satu skwadron, bersama pemimpin skwadron yang memberikan semua perintah dan menjaga kerja kelompok dalam kesatuan.

Pada bulan Mei, kepada skwadron kami diberitahukan bahwa kami akan bertugas ke luar negeri dan akan beraksi segera. Kami akan bekerja dalam misi-misi malam hari di atas wilayah musuh hingga perang berakhir. Kami menantikan pemimpin skwadron kami yang baru, yang akan tiba dalam dua hari pada pukul 9:00 dengan pesawat militer. Sebagai seorang pejabat, kami pikir ia akan segera ke markas pejabat.

Kami melihat pesawatnya, memandangnya sekilas dari kejauhan, dan undur diri menanti hingga keesokan hari untuk "menilainya". Beberapa jam kemudian, pemimpin skwadron ini, Stan Fulton, dalam seragam lengkap, memasuki barak kami.

"Baiklah teman-teman, kita akan melewatkan jam-jam berbahaya bersama, tetapi baiklah kita berharap bahwa kita semua akan berjumpa kembali di sini ketika semua sudah usai. Ah, ada ranjang kosong dan aku lelah! Aku akan temui masing-masing kalian besok."

Seraya berkata, ia melemparkan ranselnya di sebuah ranjang atas. Pemimpin skwadron kami, seorang pejabat, tidur di sini bersama kami! Kami semua langsung suka padanya dan rasa suka kami dan hormat kami kepadanya bertumbuh setiap hari.

Malam pertama itu ia berlutut di lantai dan mendaraskan rosarionya dalam keheningan. Terperanjat, kami semua diam membisu. Ketika selesai, ia memandang kami dengan senyum bersahabat dan mengatakan, "Aku harap kalian tak berkeberatan seorang teman mendaraskan doa sebab ke mana kita pergi, kita akan membutuhkannya."

Keesokan harinya latihan maneuver, di bawah perintahnya, meyakinkan kami bahwa Fulton bukanlah sekedar pemimpin militer kami, melainkan sahabat kami. Ia salah seorang dari kami; ia tak pernah berusaha mengintimidasi kami dengan posisinya.

Malam itu, ia mengulang sesi doanya. Meski kelompok kami telah berlatih bersama setidaknya selama enam bulan, aku tidak pernah meihat seorang pun berlutut dalam doa, dan tak pernah terpikir bahwa ada orang Katolik dalam kelompok kami; tetapi pada malam ketiga tiga orang rekan mengabungkan diri bersama Fulton mendaraskan Rosario. Sebagian besar dari kami tidak mengerti, tetapi kami dengan hormat  menjaga keheningan.

Beberapa malam sesudahnya - kami adalah orang-orang yang cepat belajar - kami semua menjawab Salam Maria dan Bapa Kami. Fulton kelihatan senang, dan demikianlah kami mengakhiri setiap hari dengan doa.

Pada tanggal 1 Juni 1940 kami akan meninggalkan Halifax untuk memulai serangkaian serangan malam dari Inggris atas Jerman. Sore sebelumnya, Fulton memberikan kepada masing-masing kami seuntai Rosario.

"Kita akan berada dalam situasi-situasi sulit, tetapi, jika kalian setuju, kita akan mendaraskan Rosario. Jika kalian berjanji untuk membawa Rosario bersamamu senantiasa sepanjang hidupmu dan mendaraskannya, aku dapat menjanjikan kepada kalian bahwa Bunda Maria akan membawa kalian semua kembali dengan selamat ke Kanada."

Kami menjawab, "Pasti." Tak terbayangkan bahwa kami akan bertugas selama empat tahun, berulang kali dalam bahaya mengerikan dengan tembakan-tembakan sekeliling kami. Di saat-saat demikian, suara Fulton menggema menembus setiap pesawat, "Salam Maria…" Betapa khusuk dan tulus kami menanggapinya! Berapa ratus Rosario pastilah telah kami daraskan.

Sesudah dua tahun, tercatat bahwa kami adalah satu-satunya skwadron yang tak kehilangan sebuah pesawat atau satu nyawa sekalipun. Kami tak mengatakan apa-apa, tapi kami tahu.

Pada akhirnya, perang yang mengerikan usai sudah. Sepanjang tahun-tahun itu kami kehilangan segala rasa antusias dan jiwa petualang. Satu-satunya kepedulian kami adalah selamat! Dan kami sungguh selamat pula. Semua pulang ke Kanada pada tahun 1945, sepenuhnya yakin bahwa Bunda Maria telah memelihara kami.

Jadi, aku tiada pernah lupa membawa rosarioku bersamaku dan mendaraskannya setiap hari meski aku bukanlah seorang Katolik. Apabila aku berganti celana panjang, hal pertama yang aku pindahkan, bahkan sebelum dompetku, adalah rosarioku.


Artikel ini dipublikasikan dalam jurnal "Michael" edisi Mei-Juni-Juli 2003

No comments:

Post a Comment