"Salam
Maria" dibawa dari surga oleh Malaikat Agung St Gabriel, utusan Tritunggal
Mahakudus
Teks berikut
dari Pater Gabriel Amorth, kepala eksorsis Vatican, dikutip dari "Gema
Maria, Ratu Damai" edisi Maret-April 2003.
Surat
Apostolik Paus Yohanes Paulus II, "Rosarium Virginis Mariae"
(diterbitkan 16 Oktober 2002) mendorong segenap umat Kristiani untuk kembali ke
doa yang dengan sungguh dianjurkan baik oleh para paus terakhir maupun
penampakan-penampakan Maria yang terjadi belakangan ini. Paus Paulus VI
menyebut rosario sebagai suatu ringkasan Injil. Guna membuatnya lebih lengkap,
Paus Yohanes Paulus II menambahkan "misteri terang" yang meliputi
kehidupan Yesus di depan publik. Padre Pio menyebut untaian manik-manik rosario
sebagai senjata yang luar bisa ampuh melawan setan.
Suatu hari
seorang rekan saya mendengar iblis mengatakan dalam suatu eksorsisme: "Tiap Salam Maria adalah bagai suatu
hantaman di kepalaku. Andai umat Kristen tahu betapa ampuhnya rosario, itu akan
menjadi akhir dari riwayatku." Rahasia yang menjadikan doa ini begitu
efektif adalah bahwa rosario adalah sekaligus doa dan meditasi. Rosario
disampaikan kepada Bapa, kepada Santa Perawan, dan kepada Tritunggal Mahakudus,
dan merupakan suatu meditasi yang berpusat pada Kristus.
Sekarang,
lebih dari sebelumnya, dunia membutuhkan doa dan meditasi. Dunia membutuhkan
doa sebab orang telah melupakan Allah, dan tanpa Allah dunia telah menempatkan
dirinya di tepi sebuah jurang. Inilah sebabnya mengapa dalam pesan-pesannya,
Bunda Maria begitu mendesak kita untuk berdoa. Tanpa pertolongan Allah, setan
menang. Dunia juga membutuhkan meditasi sebab jika kebenaran-kebenaran agung
Kristen dilupakan, jiwa menjadi kosong. Kekosongan ini diambil alih oleh musuh,
dan ia mengisinya dengan dustanya. Dan sekarang kita melihat hasilnya dengan
berkembangluasnya kepercayaan akan takhayul dan hal-hal gaib.
Bahaya paling
nyata terhadap masyarakat kita sekarang adalah runtuhnya keluarga. Ritme dunia
sekarang ini telah memecah-belah keutuhan keluarga. Sedikit waktu dihabiskan
bersama, dan bahkan ketika keluarga bersama, para anggotanya tidak saling
berbicara sebab televisilah yang berbicara. Di manakah gerangan
keluarga-keluarga yang mendaraskan rosario bersama pada sore hari? Paus Pius
XII mendesak di jamannya: "Jika kalian berdoa rosario bersama, kalian akan
mengalami damai dalam keluarga kalian; kalian akan akrab bersama."
"Keluarga yang berdoa bersama, bersatu teguh," demikian kata Pater
Peyton, rasul Rosario keluarga yang tak kenal lelah. "Setan menghendaki
perang," demikian kata Bunda Maria suatu hari di Medjugorje. Baik, rosario
adalah senjata yang dapat menjamin damai dunia, sebab rosario adalah suatu doa
dan suatu bentuk meditasi yang dapat mengubah hati orang dan mengalahkan musuh.
DILINDUNGI ROSARIO
Peristiwa Perang Dunia II yang membangkitkan ilham berikut ini, ditulis
oleh Sr. Mary Sheila O'Neil dan dimuat dalam edisi Oktober-Desember 1979
Garabandal Magazine (P.O. Box 606 Lindenhurst, New York 11757 USA), juga menceritakan
kuasa rosario:
Suatu hari
yang sibuk di bulan Maret. Pada tahun 1950an sebagai seorang kepala guru, aku
harus memastikan bahwa setiap hari ada cukup waktu untuk dua peran yang
berbeda. Pada tanggal empat Maret, suatu insiden antara seorang guru dan
orangtua membuatku mangkir dari kelas nyaris selama satu jam pagi itu, sehingga
sepanjang sisa hari, aku berupaya keras untuk mengejar ketinggalan waktu di
kelas. Begitulah, ketukan di pintu pada pukul 2:00 siang itu tidak aku
harapkan.
Dengan lega,
aku dapati bahwa ternyata hanya seorang salesman yang membutuhkan
tanda-tanganku dan bahkan menawarkan penanya. Sementara ia melakukannya,
rosarionya menyangkut ke klip pena dan ikut keluar. Aku menandatangani seraya
mengatakan acuh tak acuh, "Jadi, Anda adalah seorang Katolik."
"Oh bukan," jawabnya, "tetapi banyak dari antara kami yang
berhutang nyawa kepada Bunda Maria, dan aku berjanji kepadanya bahwa aku aku
akan selalu membawa rosarioku dan mendaraskannya setiap hari."
Duapuluh menit
kemudian, aku masih di pintu mendengarkan, dengan takjub, kisah salah satu dari
pengalaman-pengalaman mengagumkan sekelompok pilot bersama Bunda Maria. Tamuku
tampak ragu memulai, sebab ia memperhatikan sambutan dinginku saat membuka
pintu. Tetapi, antusias mendengarkan kisahnya, aku meyakinkannya bahwa kelas
sedang mengerjakan latihan, dan memintanya untuk meneruskan ceritanya. Ia pun
melanjutkan:
Waktu itu
adalah bulan Mei 1940, dan kami telah bergabung dengan Angkatan Udara akhir
September. Di Halifax, kepada kami diberikan suatu pelatihan intensif, sebab
mereka membutuhkan kami untuk tugas luar negeri, dan bagi kami para pemuda,
keseluruhan program tersebut sungguh menarik.
Kami
dikelompokkan dalam skwadron- skwadron, masing-masing terdiri dari enam hingga
sepuluh pesawat, dan masing-masing dilatih maneuver sebagai satu kesatuan.
Karenanya ada sekitar tigapuluh hingga limapuluh orang dalam satu skwadron,
bersama pemimpin skwadron yang memberikan semua perintah dan menjaga kerja
kelompok dalam kesatuan.
Pada bulan
Mei, kepada skwadron kami diberitahukan bahwa kami akan bertugas ke luar negeri
dan akan beraksi segera. Kami akan bekerja dalam misi-misi malam hari di atas
wilayah musuh hingga perang berakhir. Kami menantikan pemimpin skwadron kami
yang baru, yang akan tiba dalam dua hari pada pukul 9:00 dengan pesawat
militer. Sebagai seorang pejabat, kami pikir ia akan segera ke markas pejabat.
Kami melihat
pesawatnya, memandangnya sekilas dari kejauhan, dan undur diri menanti hingga
keesokan hari untuk "menilainya". Beberapa jam kemudian, pemimpin
skwadron ini, Stan Fulton, dalam seragam lengkap, memasuki barak kami.
"Baiklah
teman-teman, kita akan melewatkan jam-jam berbahaya bersama, tetapi baiklah
kita berharap bahwa kita semua akan berjumpa kembali di sini ketika semua sudah
usai. Ah, ada ranjang kosong dan aku lelah! Aku akan temui masing-masing kalian
besok."
Seraya
berkata, ia melemparkan ranselnya di sebuah ranjang atas. Pemimpin skwadron
kami, seorang pejabat, tidur di sini bersama kami! Kami semua langsung suka
padanya dan rasa suka kami dan hormat kami kepadanya bertumbuh setiap hari.
Malam pertama
itu ia berlutut di lantai dan mendaraskan rosarionya dalam keheningan.
Terperanjat, kami semua diam membisu. Ketika selesai, ia memandang kami dengan
senyum bersahabat dan mengatakan, "Aku harap kalian tak berkeberatan
seorang teman mendaraskan doa sebab ke mana kita pergi, kita akan
membutuhkannya."
Keesokan
harinya latihan maneuver, di bawah perintahnya, meyakinkan kami bahwa Fulton
bukanlah sekedar pemimpin militer kami, melainkan sahabat kami. Ia salah
seorang dari kami; ia tak pernah berusaha mengintimidasi kami dengan posisinya.
Malam itu, ia
mengulang sesi doanya. Meski kelompok kami telah berlatih bersama setidaknya
selama enam bulan, aku tidak pernah meihat seorang pun berlutut dalam doa, dan
tak pernah terpikir bahwa ada orang Katolik dalam kelompok kami; tetapi pada
malam ketiga tiga orang rekan mengabungkan diri bersama Fulton mendaraskan
Rosario. Sebagian besar dari kami tidak mengerti, tetapi kami dengan hormat
menjaga keheningan.
Beberapa malam
sesudahnya - kami adalah orang-orang yang cepat belajar - kami semua menjawab
Salam Maria dan Bapa Kami. Fulton kelihatan senang, dan demikianlah kami
mengakhiri setiap hari dengan doa.
Pada tanggal 1
Juni 1940 kami akan meninggalkan Halifax untuk memulai serangkaian serangan
malam dari Inggris atas Jerman. Sore sebelumnya, Fulton memberikan kepada
masing-masing kami seuntai Rosario.
"Kita
akan berada dalam situasi-situasi sulit, tetapi, jika kalian setuju, kita akan
mendaraskan Rosario. Jika kalian berjanji untuk membawa Rosario bersamamu
senantiasa sepanjang hidupmu dan mendaraskannya, aku dapat menjanjikan kepada
kalian bahwa Bunda Maria akan membawa kalian semua kembali dengan selamat ke
Kanada."
Kami menjawab,
"Pasti." Tak terbayangkan bahwa kami akan bertugas selama empat
tahun, berulang kali dalam bahaya mengerikan dengan tembakan-tembakan
sekeliling kami. Di saat-saat demikian, suara Fulton menggema menembus setiap
pesawat, "Salam Maria…" Betapa khusuk dan tulus kami menanggapinya!
Berapa ratus Rosario pastilah telah kami daraskan.
Sesudah dua
tahun, tercatat bahwa kami adalah satu-satunya skwadron yang tak kehilangan
sebuah pesawat atau satu nyawa sekalipun. Kami tak mengatakan apa-apa, tapi
kami tahu.
Pada akhirnya,
perang yang mengerikan usai sudah. Sepanjang tahun-tahun itu kami kehilangan
segala rasa antusias dan jiwa petualang. Satu-satunya kepedulian kami adalah
selamat! Dan kami sungguh selamat pula. Semua pulang ke Kanada pada tahun 1945,
sepenuhnya yakin bahwa Bunda Maria telah memelihara kami.
Jadi, aku
tiada pernah lupa membawa rosarioku bersamaku dan mendaraskannya setiap hari
meski aku bukanlah seorang Katolik. Apabila aku berganti celana panjang, hal
pertama yang aku pindahkan, bahkan sebelum dompetku, adalah rosarioku.
Artikel ini dipublikasikan dalam jurnal
"Michael" edisi Mei-Juni-Juli 2003
No comments:
Post a Comment