Tata gerak atau sikap tubuh seluruh umat
dan para pelayannya juga menjadi bagian terpenting dalam simbolisasi
kebersamaan dan kesatuan Gereja yang sedang berdoa. Tata gerak dan sikap tubuh
imam, diakon, para pelayan, dan jemaat tentu punya maksud. Sikap tubuh yang
seragam menandakan kesatuan seluruh jemaat yang berhimpun untuk merayakan
Liturgi Suci. Sebab sikap tubuh yang sama mencerminkan dan membangun sikap
batin yang sama pula. Maka, jika dilakukan dengan baik:
(1) seluruh perayaan memancarkan
keindahan dan sekaligus kesederhanaan yang anggun;
(2) makna aneka
bagian perayaan dipahami secara tepat dan penuh; dan
(3) partisipasi
seluruh jemaat ditingkatkan (PUMR 42).
“Berkumpul” dan maknanya
Berkat pembaptisan kita dijadikan satu
keluarga dalam Gereja yang kudus. Orang kristiani adalah pribadi yang
komuniter, selalu terpaut dalam kebersamaan. Kita tidak sendirian. Dalam nama
Bapa dan Putra, kita juga dipersatukan oleh Roh Kudus. Itu tampak ketika kita berkumpul,
khususnya dalam “tempat kudus”. Kita berkumpul sebagai orang-orang pilihan,
yang terpanggil, yang dicintai Allah. Liturgi mengundang kita untuk menemukan
kembali panggilan kita, yakni tumbuh dalam kesatuan, menjadi umat Allah,
berkarya dengan dan bagi saudara-saudari dalam perayaan yang dinamis. Maka,
berkumpul adalah bagian dari tata gerak kolektif. Agar pertemuan itu tidak
kacau, tidak anarkis, tetap utuh, maka diperlukanlah keyakinan dan sikap yang
sama. Di sinilah letak pentingnya suatu pedoman atau aturan bersama. Kita
berkumpul untuk merayakan Ekaristi, suatu perayaan bersama yang bukan tanpa
aturan. Selain itu, berkumpul juga menjadi tanda kehadiran Kristus sendiri: “Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ
Aku ada di tengah-tengah mereka” (Mat 18:20).
Makna “berdiri”
Sikap tubuh kita mengungkapkan kegembiraan.
Gembira atas kebersamaan dan persaudaraan di dalam Kristus. Berdiri menyatakan
keyakinan dan perasaan yang utuh, jiwa yang siaga di hadapan Allah, siap
bertemu dan berdialog dengan yang Ilahi. Kita berdiri karena kita berada di
hadapan yang menentukan dan menguasai hidup kita, yang memberi kekuatan
dan menjaga kita. Berdiri untuk menyatakan bahwa Dia adalah satu-satunya Allah
Tuhan kita. Kita berdiri untuk menghormati Allah yang Mahatinggi itu (bdk. Kej
18:8). Jemaat yang berdiri menunjukkan rasa syukurnya dan keakrabannya dengan
Allah. Umat yang berdiri juga mengungkapkan persaudaraan yang hidup, yang
dipersatukan bagi dan oleh Allah. Maka sangatlah tepat bila kita berdiri
khususnya pada saat menyatakan iman (syahadat) dan Doa Syukur Agung. Kita
mengakui secara terbuka bahwa wafat dan kebangkitan Kristus (misteri Paskah)
adalah dasar kehidupan kita. Inilah dasar kegembiraan kita. Kegembiraan Paskah
mengantar perjalanan kita menuju Allah. Kita berdiri seolah bersama Kristus
berada di dalam Yerusalem surgawi.
Saat dan Makna “duduk”
Umat hendaknya duduk (a) selama
bacaan-bacaan sebelum Injil dan selama Mazmur Tanggapan; (b) selama Homili; [c]
selama persiapan persembahan; [d] selama saat hening sesudah komuni. Khusus untuk
yang berkaitan dengan Liturgi Sabda, sikap ini ada dasar biblisnya. Misalnya,
saat Yesus mengajar, orang-orang mendengarkan Dia dengan duduk memperhatikan
(Mat 5:1). Atau, saat Maria yang sedang duduk mendengarkan Yesus, sementara
Marta sibuk melayani para tamunya. Yesus berkata: “Maria telah mengambil bagian
yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya”(Luk 10:39).
Maknanya sungguh luas. Sikap duduk bisa
menggambarkan saat orang mengharapkan sesuatu; ia sedang mendengarkan atau
mencerna suatu pesan. Keadaan batin tertentu juga bisa digambarkan dengan
duduk. Orang seolah mendambakan untuk menemukan makna hidupnya yang sejati.
Pada saat kita duduk, kita pun berharap agar Allah berbicara atau menyatakan
diri-Nya kepada kita. Ini adalah saat epiklesis juga. Dengan duduk pun kita
menyambut sabda-sabda Allah itu dengan hati terbuka. Kita berharap agar sabda
Allah sungguh menyirami dan menyegarkan hati kita. Allah sendiri ingin agar
kita dapat subur dan berbuah berkat sabda-Nya. Maka, duduk juga berarti
kesediaan untuk saling mendengarkan, saling berbagi pengalaman, saling
mempersatukan diri. Duduk menerbitkan rasa damai, aman, percaya, karena kita
memang sedang bersatu dengan Allah. Ini menggambarkan dimensi eskatologis, saat
istirahat nanti, setelah perjalanan panjang dan perjuangan hidup di dunia:
“barangsiapa menang, ia akan Kududukkan bersama-sama dengan Aku di atas
tahta-Ku, sebagaimana Aku pun telah menang dan duduk bersama-sama dengan bapaKu
di atas tahtaNya (Why 3: 21). Setiap kali duduk, jiwa kita memasuki kedamaian
yang membantu kita untuk menerima sabda Ilahi dan mencicipi komunikasi dengan
Allah nanti.
Ada juga makna tersendiri untuk
“berlutut lama”
Biasanya orang berlutut lama untuk berdoa
secara pribadi. Ada banyak motivasi atau alasan mengapa orang itu berlutut.
Berlutut bisa menandakan “kegagalan, kekalahan”. Kita pasrah dan mengakui
kelemahan kita di hadapan Allah. Sikap tubuh ini menunjukkan semangat
kerendahan diri yang menguasai hati dan jiwa kita. Di hadapan Allah, Sang Sumber
Hidup, kita ini tidak ada apa-apanya. Saat itu pula, dengan sikap tubuh itu,
kita mengungkapkan isi batin kita dan menyembah Allah. Kita juga ingin
menyelaraskan diri dengan Kristus, Putra-Nya. Berlutut semacam ini juga
mengungkapkan keyakinan kita bahwa Allah yang telah memulai itu akan juga
menggenapi semua karyaNya di dalam diri kita. Secara lebih dramatis lagi,
bentuk kepasrahan diri ini diungkapkan dalam sikap tubuh “tiarap” atau
“merebahkan diri” untuk mereka yang akan ditahbiskan atau oleh Imam pada awal
Liturgi Pengenangan Sengsara Tuhan, Jumat Agung.
Kapan lagi harus “berlutut”?
Saat kita masuk ke gedung gereja, setelah
membuat tanda salib dengan air suci, sebelum duduk, biasanya kita berlutut
sejenak. Mengapa? Sebenarnya kita hendak menghormati tabernakel, terutama jika
di dalamnya terdapat Sakramen Mahakudus. Jika tidak ada tabernakelnya (tempat
Sakramen Mahakudus yang menjadi simbol kehadiran Kristus yang abadi), dapat
diartikan kita menghormati gereja sebagai tempat yang kudus. Sikap ini memang
belum termasuk tata gerak dalam Perayaan Ekaristi. Namun, pada prinsipnya
setiap kita mendekati atau melewati tabernakel dengan Sakramen Mahakudus di
dalamnya, kita diharapkan memberi penghormatan dengan cara berlutut; kecuali
pada saat dalam perarakan. “Berlutut” diganti “menundukkan kepala” ntuk
kesempatan tertentu, “berlutut” (juga “membungkuk”) bisa diganti dengan
“menundukkan kepala”. Misalnya, ketika para pelayan Misa (putra altar, lektor,
diakon) sedang membawa salib, lilin, dupa, atau Kitab Injil harus menghormati
Sakramen Mahakudus atau altar. Menurut PUMR 275a, “menundukkan kepala’
dilakukan juga ketika mengucapkari nama Tritunggal Mahakudus, nama Yesus, nama
Santa Perawan Maria, dan nama para orang kudus yang diperingati dalam Misa yang
bersangkutan.
Demikianlah ajakan Gereja untuk melibatkan
seluruh gerak dan hidup kita dalam Liturgi Ekaristi. Mari kita maknai dengan
lebih dalam lagi keterlibatan kita dalam Ekaristi. Sehingga peran serta dan
campur tangan Allah selalu kita yakini dan imani dalam seluruh gerak dan hidup
kita.
“Tuhan…aku bersyukur akan kekayaan dalam Liturgi
GerejaMu. Semoga aku selalu menemukan Engkau dalam seluruh gerak tubuh dan
hidupku…”